Nostalgia Indah “Manusia yang lahir tahun 70-90an”
Saya tulis versi Sulawesi Selatan (bugis/Makassar).
Mari kita simak, mungkin ada pengalaman pribadita..hehehehe
Pergi sekolah jalan kaki, tidak pernah diantar apalagi dijemput, Pakai baju & sepatu sendiri bahkan kadang hanya pakai sandal, Baju disterika pakai arang, Kadang melekat di baju sisa arangnya, Hujan tak ada payung terpaksa hanya pakai daun pisang tak ada jas hujan, tapi biasanya pakai kantong plastik, tidak pakai tas, hanya pakai kresek atau kantong plastik bekas bungkus sarung, Pulang sekolah tak ada tidur siang Karena harus pergi mengaji Sebelum mengaji harus angkat air di rumah guru mengaji Terlambat mengaji dihukum dengan “ di eppe”(jari dijepit diantara rangkaian rotan).
Berlomba cepat pulang saat mengaji Singgah di sungai, berenang sembari tangan ke atas bawa sepatu, Meski kotor tapi tak pernah kita merasa gatal, Main hujan tak pernah influenza, Karena kita sangat bersahabat dengan alam.
Senangnya mengerjai teman sekolahMenyimpan gula karet di tempat duduknya atau menempel kertas dibelakang bajunya Bertulis, “saya orang gila” atau menyimpan barang “aneh” dibangkunya misalnya jangkrik atau kecoa, bangku yang panjang dan kursi panjang kalau Guru tahu, dicambuk atau di pukul mistar kayu satu kelas.

Perempuan Bermain pakai karet, Maddanda (Melompati gambar di tanah), Mammini (Melompati talian karet) Maggulaceng, Mabbekkele (pakai bola dan bantal2 kecil).
Yang laki-laki ma enggo (dikejar), Mang asing asing (menghadang), Manggolo (main bola), Mattingko (petak umpet), Ma’ baguli (main kelereng), Kalau gabung palingan, Makkasti, Mabboi, Maccukke, dan tentu yang paling mengasyikkan adalah main layang-layang disertai pitu-pitu (suara pita yang dipasang dilayangan).
Sakit kita tak pernah dibawa ke dokter, Tetapi ditempeli saja ramuan daun2 di jidat Kalau parah sedikit paling ke puskesmas dan obatnya hanya antalgin dan paracetamol, terserah mau penyakitnya apa. Tidak ada penyakit yang membahayakan hanya semacam salesma atau kena paku di jalan atau kena pecahan beling, atau jatuh karena kajili-jili saat bermain, setelah dianggap sehat, biasanya dimandi pakai ramuan daun daun atau di asapi.
Semua teman sama, tak ada pacar-pacaran, bermain berbaur laki perempuan “kalau orang dewasa mengejek kita pacaran sama si “anu”, Wajah kita memerah karena malu, dan kadang kita menangis karena tidak terima diejek, Pulang “mappicceng” (mengadu) ke orang tua tapi orang tua cuma ketawa, Kita dipukul guru di sekolah atau dijemur di depan kelas disuruh berdiri dengan satu kaki dilempar penghapus sampai memutih muka tak pernah kita mengadu ke orang tua. (jaman sekarang mana ada).
Kita takut sekali sama bapak dan ibu guru, coba mengadu ke orang tua, pasti kita yang salah “Karena kau memang madongo (bodoh) dan mebetta (nakal) Jajanan di sekolah tidak ada yang bahaya, permen gula merah yang dialirkan dipelepah pisang, roti pawa, taripang, sanggara utti (pisang goreng), Sanggara lame (ubi goreng), Gorengan pake tai minyak (Endapan minyak goreng), Minum es lilin, atau minuman khas warna merah jambu Pake prambosen atau sirup DHT.
Kadang sampai tamat masih punya utang di kantin, kalau tidak sampai ke sekolah ataukah bolos atau cili (cepat pulang) Karena guru ada acara atau rapat, Kita tidak tawuran apalagi narkoba, kita belum tahu semua itu tapi, Singgah menonton penjual obat di pasar.
Televisi belum banyak, hitam putih pakai lemari, dengar musik pakai radio transistor kalungan dengan music di radio RRI atau kaset pakai pita yang diputar pakai pinsil atau korek api, kalau gulungan kaset sikota2 (kusut), Ribetnya minta ampun.
Listrik belum dua puluh empat jam, kadang belajar pakai pelita, hitam semua hidung sebab asapnya, tontonan favorit saat itu adalah, TVRI (menjalin persatuan dan kesatuan)
Si Unyil, ACI (Aku Cinta Indonesia), Rumah Masa Depan, Aneka Ria Safari, Kamera Ria, Dunia Dalam Berita, Film Cerita Akhir Pekan, Selekta Pop, Keluarga Cemara, Cerdas cermat (SD), Tebak Tepat (SMP), Cepat Tepat (SMA), Film kartunnya si Huma dan Windi, Kuisnya berpacu dalam melodi.
Kalau ada acara pernikahan atau hajatan tetangga, kita asyik bermain sampai larut malam Karena kita tak dicari orang tua karena mereka juga sibuk Sampai-sampai kadang tidak ke sekolah Lalu, ketemu guru di acara pesta/hajatan, Lari sembunyi takut ditanya “kenapa tidak ke sekolah?”.
Saat telah remaja atau dewasa, Kita menyukai teman, Tapi malu bilang, Sampai tak pernah berani mengatakan dingin semua tubuh saat bertemu Hanya pakai surat cinta Yang dibeli di toko Berwarna merah jambu dengan Harumnya yang khas.
Kalau ada acara mau juga foto-foto, Masih pakai rol 10, 24 atau 36 Kalau “klise” nya terbakar…ampun dech, “cucinya” hanya tempat tertentu hanya ada di kota ditunggu sampai bermalam bahkan sampai berhari2, ketika itu namanya Kodak jadi kalau minta di foto bilang “Kodak ka dulu”. Karena rol yang dipake hanya dua Kodak (kuning) atau fuji film (hijau).
Kalau lagi panen enaknya makan di sawah, dirumah seperti gazebo atau di atas pematang, Ke sawah “massangki” (menebang padi), Massampa (memisahkan biji dengan pohon padi) Mangesso (menjemur padi), Mappaberre (penggilingan) Sisa kulit padi menjadi “awang” Lalu dibakar di bawah rumah, bersama teman “maggoce goce” (mabbenno) (semacam pop corn) atau makkambacu (tdk merekah)
Kalau pergi2 jalan kaki Hanya orang kaya atau pejabat desa yang pake motor, Itupun motor bebek atau motor Binter Apalagi naik mobil Mobil hanya yang punya pak camat Mobil Toyota warna orange atau hartop
Yang populer kala itu naik sepeda bernama sepeda jonga atau disebut sepeda singking kadangkala harus mabbendi (dokar) atau Makkaroba (dokar terbuka) Kalau dikasi uang paling lima rupiah, itu sudah banyak, karena jajanan hanya satu rupiah, uang kertas seratusan warna merah, Hanya milik anak orang kaya.
Yang menggelikan adalah, soal buang air besar belum ada toilet di rumah terpaksa jauh ke belakang disemak-semak atau di sawah, di atas sungai/kali.
Sumur jauh dari rumah, angkat airnya jauh sekali, pergi ke hutan atau ke ladang mencari kayu bakar karena masih pakai dapo’ (tungku tanah), Pancinya bernama lowa (semacam panci tapi dari tanah) Meniup api pake bambu namanya Pabberung tidak pake minyak tanah tapi dengan daun kelapa kering.
Begitulah sebagian nostalgia mereka yang lahir tahun 70-90 an ke atas.
Kalau Anda pernah merasakan ini semua, pasti tersenyum sendiri, atau mungkin terharu, atau bahkan saking terharunya tak terasa air mata menetes, Mengenang betapa indahnya, hidup kita yang lalu, terasa ingin kembali Ke dunia itu yang meski susah tapi terasa sungguh bahagia. (red)