KENDARI, kendari24.com – Pada tanggal 16 Mei 2023, saya bersama tim Komnas HAM melakukan pemantauan kasus TPKS ( tindak pidana kekerasan seksual) di kabupaten Buton Utara (Butur) provinsi Sulawesi Tenggara. Kami menuju kabupaten Buton Utara melalui darat dari kota Bau-bau, karena kami juga memantau kasus di kota itu. Jarak dari Bau-Bau ke Buton Utara sekitar 150 KM. Dengan kecepatan biasa, kira-kira bisa ditempuh dalam waktu sekitar tiga jam.
Jam tiga sore kami berangkat dari Bau-Bau dan hampir jam 9 malam kami baru sampai Buton Utara. Kenapa perjalanan begitu lama?
Sudah dapat informasi sebelumnya bahwa infrastruktur jalan menuju Buton Utara tidak mulus. Dan sungguh mengejutkan bahwa jalan di Buton Utara rusak cukup parah. Di Bubu, Bubu Barat kecamatan Kambowa hanya sedikit jalan yang mulus, selebihnya rusak parah, lubang-lubang besar seperti jalan di Lampung yang sempat viral beberapa waktu yang lalu.
Di Lambale Kulisusu Barat dan beberapa daerah di Kulisusu hampir sepanjang 30 KM juga rusak parah. Di beberapa kecamatan lain, ada sekitar 10 KM, 5 KM, 1 KM yang juga lubang-lubang lebar menganga. Dari 6 jam perjalanan, mungkin hanya 1,5 jam kami melalui di jalan mulus, selebihnya 4,5 jam melewati jalan rusak. Apalagi saat malam, gelap gulita.
Saat perjalanan, tak banyak mobil yang kami jumpai. Perumahan warga juga tidak banyak. Selebihnya hutan, perkebunan dan semak belukar.
Sepanjang perjalanan ketika mulai memasuki Buton Utara, sinyal HP juga hilang untuk semua provider telekomunikasi. Signal baru muncul saat memasuki Ereke, ibu kota Buton Utara, itupun kadang byar pet.
Mobil yang kami tumpangi sudah dipersiapkan dengan mobil yang tahan banting untuk off road. Tapi tetap saja goncangan sepanjang jalan rusak tak terhindarkan bak roller coaster. Kami terombang ambing dan menahan perut sakit sepanjang perjalanan. Seringkali kami terguncang dan ada suara “Jedak”, lalu kami spontan berteriak bersama.
Banyak jembatan yang kami lewati merupakan jembatan tua peninggalan Belanda. Sepanjang perjalanan, kami menyebut jembatan – jembatan itu ada jembatan yang menghubungkan penderitaan satu ke penderitaan berikutnya. Seringkali, tiba-tiba ada jalan mulus, kami bernafas lega, tetapi ternyata hanya 20 Meter. Lalu kami bertemu lagi dengan jalan yang rusak.
Ada tiga tipe kerusakan jalan yang kami amati. Pertama, tingkat kerusakan sangat parah, aspalnya tidak tersisa dan lubang-lubang dalam. Kedua, rusak sedang, aspalnya tidak Nampak sama sekali tetapi lubang -lubangnya kecil. Ketiga, rusak ringan, aspalnya masih tersisa separuh meski tidak merata, tetapi lubang-lubang kecil merata. Tak bisa dibayangkan saat hujan, pasti Nampak seperti kolam dan makin sulit dilewati.
Menurut informasi dari warga, sudah sekitar 30-40an tahun jalan di situ rusak, beberapa ruas memang sudah diperbaiki dan mulus, tetapi hanya beberapa ruas saja. Terutama jalan Kabupaten dan Provinsi, sementara jalan negara nyaris rusak parah total.
Kabupaten Buton Utara ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Muna sejak tahun 2007.
Saat bertemu dengan bapak Bupati Buton Utara, beliau juga menyampaikan terkait perjalanan kami yang penuh tantangan akibat jalan yang rusak.
Bisa dibayangkan dengan akses jalan yang rusak parah dan akses informasi yang juga terbatas, bagaimana tingkat kesejahteraan warganya, pemenuhan hak2 dasar mereka, termasuk akses atas keadilan bagi mereka yang menghadapi persoalan hukum maupun pelanggaran hak asasi manusia.
Sangat ironis, Pulau Buton yang merupakan penghasil aspal terbesar di Indonesia (sekitar 650 juta ton) dan penghasil aspal alam terbesar di dunia, tetapi kabupaten Buton Utara justeru infrastruktur jalannya rusak parah dan tak beraspal.
Pak Basuki dan pak Presiden Jokowi semoga segera bisa berkunjung ke Buton Utara untuk melihat dan memperbaiki kondisi ini agar masyarakat dapat bermobilitas dengan baik dan mendapatkan hak atas layanan publik yang layak. Menurut informasi warga, presiden Jokowi belum pernah berkunjung ke Buton Utara.
Buton Utara, 17 Mei 2023
Penulis: Anis Hidayah/ Koordinator Sub Komisi Pemajuan Komnas Ham