KOLAKA, kendari24.com – PT Ceria Nugraha Indotama (CNI) melakukan explorasi pada 2008 menuai kontroversi mulai dari pembayaran pembebasan lahan, tanaman, hingga tambak (empang), kurangnya koordinasi antara manajemen pusat dan manajemen site sehingga menjadi permasalahan hingga saat ini.
Kisruh dan protes masyarakat sekitar lingkar tambang mau pun stakeholder saat ini juga belum tertangani dengan baik. Hal ini diungkapkan oleh Hamka, Dewan Pembina Ikatan Mahasiswa Pemuda dan Pelajar Kecamatan Wolo (IMPPW) Sulawesi Tenggara (Sultra).
Menurutnya kehadiran PT Ceria Nugraha Indotama di blok Lapao-pao menimbulkan sejumlah permasalah serius khususnya bagi petani tambak.
Salah satu masalah yang ditimbulkan dari aktivitas PT CNI yakni pembuatan cek dump untuk netralisasi air yang dibuat tidak memenuhi kaidah dan SOP pertambangan serta pengerukan secara masif untuk selalu menjaga air tetap stabil.
Dampak dari aktivitas tersebut petani tambak di wilayah desa Muara Lapao-pao, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) tidak lagi produktif dan menghasilkan sebab air untuk perikanan tambak sudah terkontaminasi dengan lumpur ore dan ob akibat eksplorasi ugal-ugalan dari PT Ceria.
“Tambak sudah tidak lagi produktif sebab air sudah tercemari dengan lumpur ore dan ob dari aktivitas perusahaan,” ujar Hamka dalam rilisnya pada Senin (11/3/2024).
Hamka melanjutkan tidak hanya tambak, puluhan hektar sawah pada September 2021 dan Mei 2023 yang berada di daerah lingkar tambang terdampak akibat jebolnya daerah tangkapan air (Sedimen pond) perusahaan, bahkan jalan trans Sulawesi yang menjadi akses utama lalu lintas pun terganggu akibat luapan air hingga menutupi jalan.
Lanjutnya, kondisi tersebut akan teras terjadi jika pihak perusahaan tidak melakukan pembenahan dan memperbaiki tanggul tangkapan air atau sedimen pound dan kembali akan berdampak pada masyarakat yang berada di lingkar tambang blok Lapao-pao.
“Perusahaan pertambangan ini juga diduga tidak melakukan reklamasi atau penanaman mangrove sekitar bibir dan muara sungai, dimana terdapat jalan houling pemuatan material menuju pelabuhan (jeti),” ungkapnya.
Aksi persuasif maupun komitmen pembayaran dampak terhadap warga pemilik tambak yang dijanjikan sejak 2017 hingga kini belum terealisasi.
Masyarakat hanya bisa gigit jari dengan janji pihak perusahaan akan memberikan 1 unit eskavator untuk masyarakat terdampak.
Masyarakat menuntut janji dikriminalisasi
Puncak aksi 15 Juni 2023 lalu menjadi tragedi memilukan bagi warga terdampak sebab 3 orang pengunjuk rasa dikriminalisasi dan dilaporkan ke Kepolisian Daerah (Polda) Sultra karena diduga melakukan pengrusakan dengan pemotongan tali tongkang milik mitra PT. Ceria Nugraha Indotama saat berunjukrasa.
“Mereka melakukan aksi tersebut karena kesal pihak perusahaan tidak memenuhi janjinya dan tidak ditemui oleh manajemen perusahaan,”katanya.
Senada dengan Hamka, Ketua umum IMPPW Sultra, Akbar Adnan menjelaskan 3 masyarakat yang terdampak yang dikriminalisasi tersebut kini menjalani proses hukum dan menunggu vonis putusan sidang di Pengadilan Negeri (PN) kabupaten kolaka.
Istri dan anak ke 3 terdakwa tidak lagi mendapatkan nafkah lahir dan batin bahkan keluarga terdakwa harus berjuang untuk kehidupan sehari-hari, pembayaran cicilan untuk aset yang digadai sebelumnya untuk tambahan modal tambak mereka.
“Salah satu istri terdakwa akan melahirkan di bulan Maret 2024 yang menimbulkan masalah baru bagi kemanusian,” ujar Akbar.
“Apakah pihak PT Ceria Nugraha Indotama menutup mata tentang persoalan ini serta pemerintah Daerah kabupaten Kolaka terkhusus Kecamatan Wolo, desa Muara Lapao-pao,” tambahnya.
Persoalan dan permasalahan ini terjadi sebagai pembelajaran dan pengalaman karena kurangnya respon cepat, perhatian serta kesejahteraan masyarakat lingkar tambang kecamatan Wolo oleh seluruh manajemen PT. Ceria baik manajemen site Wolo maupun manajemen Pusat .
Makin hari, bulan maupun tahun muncul masalah di masyarakat sekitar lingkar tambang, PT. Ceria Nugraha Indotama cemas karena tiap tahunnya penambahan kuota untuk penjualan material ke pabrik seluruh Indonesia.
“Jual material ore berlebihan padahal membangun pabrik smelter hingga kini belum tuntas, dimana lagi mereka (CNI) mengambil material untuk smelter nantinya,” ungkap Hamka.
Pembuatan terminal khusus untuk sarana bongkar muat untuk bahan material pembangunan smelter harusnya dibuat untuk memperlancar sarana dan prasarana bongkar muat, bukan mengandalkan terminal khusus pelabuhan kabupaten Kolaka dan melakukan mobilisasi bahan material maupun bangunan konstruksi melalui jalan trans Sulawesi.
Berikutnya permasalahan Pembangunan konstruksi menggunakan arus listrik PLN dengan alasan keterlambatan pembangunan pabrik smelter karena keterbatasan karena sering terjadi pemadaman listrik.
“Sekelas pembuatan smelter seharusnya membuat pembangkit listrik tersendiri tidak harus mengandalkan PLN.” ungkapnya.
Hingga berita ini ditayangkan manajemen PT CNI belum memberikan klarifikasi. (**)