KENDARI – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara menggemparkan publik dengan menetapkan empat tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi terkait penyalahgunaan wewenang di Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas III Kolaka.
Kasus ini melibatkan penerbitan persetujuan sandar dan berlayar kapal pengangkut ore nikel dengan dokumen fiktif, menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp100 miliar.
Asisten Pidana Khusus Kejati Sultra, Iwan Catur mengungkapkan bahwa keempat tersangka adalah Muhammad Machrusy (MM), Direktur Utama PT. AMIM. Muliyadi (MLY), Direktur PT. AMIN. ES, Direktur PT. (BPB) Supriyadi (SPI), Kepala KUPP Kelas III Kolaka.
“Modus Operandi yang Terungkap
Kasus ini berawal dari penyalahgunaan dokumen PT. AMIN, pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) di Kolaka Utara”. katanya.
Dokumen PT AMIN digunakan untuk mengangkut ore nikel yang diduga berasal dari IUP PT. PCM melalui jetty PT. Kurnia Mining Resource (KMR). Pada Juni 2023, tersangka ES menemui Direktur PT. KMR untuk menjalin kerja sama penggunaan jetty, di mana ore nikel dari IUP lain disamarkan seolah-olah berasal dari IUP PT. AMIN. Perjanjian kerja sama ditandatangani pada 17 Juni 2023.
Sementara itu, tersangka Supriyadi, selaku Kepala KUPP Kolaka, diduga menerima suap untuk menerbitkan persetujuan berlayar bagi tongkang yang mengangkut ore nikel tersebut, meskipun usulan agar PT. AMIN menjadi pengguna Terminal Umum PT. KMR tidak disetujui oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Jemput Paksa dan Penahanan
Ketiga tersangka, MM, MLY, dan ES, sempat mangkir dari panggilan penyidik sebanyak dua kali. Penyidik Kejati Sultra akhirnya melakukan jemput paksa di tiga lokasi berbeda: MM di Gresik, Jawa Timur; MLY di Kolaka, Sulawesi Tenggara; dan ES di Jakarta Utara. Ketiganya langsung diperiksa sebagai saksi dan tersangka di lokasi masing-masing.
Kini, MM dan MLY ditahan di Rutan Kendari, sedangkan ES ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung RI di Jakarta. Penyidik masih menghitung kerugian negara secara pasti bersama auditor, namun nilai awal kerugian diperkirakan telah melampaui Rp100 miliar.
Iwan Catur menegaskan bahwa Kejati Sultra berkomitmen mengusut tuntas kasus ini secara profesional dan transparan.
“Kami tidak akan berhenti di sini. Penegakan hukum harus memberikan efek jera bagi pelaku korupsi yang merugikan negara,” tegasnya.
Kasus ini menjadi sorotan karena menyingkap praktik korupsi di sektor pertambangan nikel, yang merupakan salah satu komoditas unggulan Sulawesi Tenggara. Publik kini menanti perkembangan lebih lanjut dari penyidikan ini, termasuk potensi pengembangan ke pihak lain. (**)